Terkait tulisan saya bisa klik pada link https://linktr.ee/firmandads

Kisah Sedih Monyet Ekor Panjang dan Beruk dalam Atraksi Jalanan dan Pertunjukan

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
monyet berekor
Iklan

Banyak monyet yang digunakan untuk atraksi jalanan mengalami stres, trauma, hingga kerusakan fisik akibat metode pelatihan yang keras.

***

Monyet ekor panjang dan beruk memiliki keterkaitan erat dengan kehidupan masyarakat di Asia Tenggara, baik dalam konteks ekologi maupun budaya. Sejak lama, kedua spesies ini kerap dimanfaatkan manusia, tidak hanya dalam pertunjukan jalanan, tetapi juga dalam penelitian maupun sebagai bagian dari praktik tradisional. Namun, dalam konteks pertunjukan, isu kesejahteraan hewan menjadi sorotan utama.

Banyak laporan menunjukkan bahwa monyet yang digunakan untuk atraksi jalanan mengalami stres, trauma, hingga kerusakan fisik akibat metode pelatihan yang keras serta kondisi hidup yang tidak sesuai dengan habitat alaminya. Lebih jauh lagi, keberadaan atraksi ini menimbulkan dilema: apakah tradisi semacam ini masih relevan untuk dipertahankan, atau justru perlu ditinggalkan demi menjaga hak dan kesejahteraan hewan?

Selain aspek etika, isu ini juga berkaitan dengan regulasi. Pemerintah melalui berbagai peraturan konservasi sebenarnya telah melarang pemeliharaan satwa liar tanpa izin, termasuk monyet ekor panjang dan beruk. Namun, lemahnya pengawasan dan minimnya kesadaran masyarakat membuat praktik ini masih berlangsung hingga sekarang. Oleh karena itu, kajian mengenai atraksi monyet dalam jalanan dan pertunjukan menjadi penting untuk memahami kompleksitas masalah yang mencakup aspek budaya, ekonomi, etika, dan hukum.

Atraksi jalanan dengan menggunakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) merupakan praktik yang masih dijumpai di sejumlah daerah di Indonesia. Pertunjukan ini biasanya menampilkan hewan yang dilatih untuk melakukan berbagai aksi, mulai dari mengendarai sepeda kecil, menari, hingga menirukan perilaku manusia. Meskipun dianggap sebagai hiburan tradisional oleh sebagian masyarakat, praktik tersebut menimbulkan perdebatan serius, terutama terkait kesejahteraan hewan dan relevansinya di era modern.

Di satu sisi, pertunjukan ini dinilai sebagai bagian dari budaya populer dan sumber mata pencaharian bagi sebagian kalangan. Namun di sisi lain, terdapat kritik keras dari organisasi perlindungan hewan dan akademisi karena atraksi tersebut sering kali dilakukan dengan metode pelatihan yang tidak ramah hewan, seperti pemakaian rantai, paksaan, dan pengekangan. Hal inilah yang menimbulkan kontroversi mengenai posisi atraksi monyet dalam ruang sosial, budaya, dan etika masyarakat.

Hubungan Manusia dan Primata dalam Budaya

Interaksi antara manusia dan primata telah berlangsung sejak lama, baik dalam konteks mitologi, kepercayaan, maupun hiburan. Menurut Fuentes (2010), monyet sering dipandang ambivalen: di satu sisi dihormati dalam tradisi dan agama, di sisi lain dimanfaatkan sebagai hiburan atau objek eksploitasi. Dalam konteks Indonesia, pertunjukan monyet jalanan dikenal sebagai topeng monyet, yang pernah populer di perkotaan dan dianggap sebagai bagian dari budaya hiburan rakyat (Widyastuti, 2017).

Aspek Ekonomi dan Sosial Atraksi Monyet

Bagi sebagian masyarakat, atraksi monyet menjadi mata pencaharian utama. Studi oleh Soemarwoto (2015) mencatat bahwa keluarga pelatih monyet sering menggantungkan hidup dari hasil pertunjukan jalanan. Hal ini memperlihatkan adanya dimensi ekonomi yang kompleks, di mana praktik yang dianggap bermasalah secara etika justru berperan dalam keberlangsungan hidup kelompok masyarakat tertentu.

Isu Kesejahteraan Hewan

Banyak penelitian menyoroti penderitaan yang dialami monyet ekor panjang dan beruk dalam atraksi jalanan. Menurut Margono (2019), kondisi monyet atraksi biasanya ditandai dengan stres kronis, perilaku stereotipik (misalnya mengayun atau menggigit rantai), serta penurunan kesehatan akibat pola makan yang tidak sesuai. Laporan dari organisasi perlindungan hewan juga menemukan penggunaan metode kekerasan dalam melatih monyet agar menampilkan perilaku yang diinginkan.

Perspektif Etika dan Hukum

Secara hukum, monyet ekor panjang dan beruk termasuk satwa liar yang pemanfaatannya diatur dalam Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990). Namun, lemahnya penegakan hukum membuat praktik atraksi tetap berlangsung (Siregar, 2021). Dari perspektif etika, Singer (1995) menekankan bahwa penggunaan hewan untuk hiburan manusia melanggar prinsip moral dasar, terutama bila menimbulkan penderitaan yang tidak perlu.

Alternatif Hiburan dan Pendidikan Publik

Literatur terbaru menunjukkan adanya upaya menggantikan atraksi monyet dengan bentuk hiburan yang lebih ramah hewan. Menurut laporan WWF (2020), edukasi masyarakat tentang konservasi satwa liar dan penyediaan alternatif ekonomi bagi mantan pelatih monyet terbukti efektif mengurangi praktik eksploitasi. Hal ini menegaskan bahwa perubahan sosial dan budaya dapat dilakukan melalui kombinasi pendekatan regulasi, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi.

Sejarah dan Praktik Atraksi Monyet

Atraksi monyet, yang dikenal di Indonesia sebagai topeng monyet, telah lama menjadi bagian dari hiburan jalanan. Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) dipilih karena kecerdasan dan kemampuan mereka menirukan perilaku manusia. Dalam pertunjukan, monyet biasanya dipaksa untuk melakukan berbagai aksi, seperti menari, menaiki sepeda kecil, atau memakai kostum. Bagi sebagian kalangan, praktik ini dianggap sebagai hiburan tradisional yang melekat dalam budaya perkotaan.

Dimensi Sosial dan Ekonomi

Atraksi monyet bukan sekadar hiburan, tetapi juga menjadi sumber mata pencaharian bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Banyak pelatih monyet yang menggantungkan nafkah harian dari pertunjukan ini. Faktor kemiskinan, keterbatasan akses pekerjaan, serta minimnya kesadaran mengenai kesejahteraan hewan menjadikan praktik ini terus berlangsung. Dilema muncul ketika upaya pelarangan dilakukan tanpa alternatif ekonomi yang jelas bagi para pelakunya.

Isu Kesejahteraan Hewan

Persoalan paling serius dalam atraksi monyet adalah kesejahteraan hewan. Metode pelatihan umumnya menggunakan paksaan, seperti rantai pada leher atau tubuh, yang menyebabkan luka fisik dan stres psikologis. Monyet yang hidup di kandang sempit, terikat, dan terisolasi dari interaksi sosial alami, kerap menunjukkan perilaku abnormal seperti menggigit diri sendiri, mengayun berulang, atau berteriak. Kondisi ini jelas bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan yang mencakup kebebasan dari rasa sakit, penderitaan, dan stres.

Perspektif Hukum dan Regulasi

Secara hukum, monyet ekor panjang dan beruk termasuk satwa liar yang penggunaannya diatur dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Artinya, pemeliharaan tanpa izin resmi sudah termasuk pelanggaran. Namun, lemahnya penegakan hukum dan anggapan bahwa atraksi monyet adalah “tradisi” membuat praktik ini masih bertahan. Penegakan aturan yang konsisten serta sosialisasi hukum kepada masyarakat menjadi kunci untuk mengurangi eksploitasi satwa.

Upaya Alternatif dan Solusi

Berbagai pihak telah melakukan langkah untuk mengurangi praktik atraksi monyet, misalnya dengan menyelamatkan satwa dari pelatih dan merehabilitasinya ke pusat konservasi. Di sisi lain, program pemberdayaan ekonomi bagi mantan pelatih monyet juga dilakukan untuk menyediakan sumber penghasilan alternatif. Selain itu, kampanye edukasi publik mengenai hak hewan, konservasi, dan pentingnya ekosistem menjadi strategi penting agar masyarakat tidak lagi mendukung hiburan yang mengeksploitasi satwa liar.

Tantangan dan Arah Masa Depan

Kontroversi seputar atraksi monyet menunjukkan benturan antara faktor budaya, ekonomi, dan etika. Di masa depan, keberlangsungan praktik ini sangat mungkin berakhir seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesejahteraan hewan dan regulasi yang lebih tegas. Namun, keberhasilan penghapusan atraksi ini harus diiringi dengan penyediaan solusi nyata bagi para pelatih agar mereka tidak kehilangan sumber penghidupan.

Atraksi jalanan yang menggunakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk (Macaca nemestrina) mencerminkan praktik yang berada di persimpangan antara budaya, ekonomi, dan etika. Di satu sisi, atraksi ini telah menjadi sumber hiburan sekaligus mata pencaharian bagi masyarakat tertentu. Namun di sisi lain, praktik tersebut jelas menimbulkan persoalan serius terkait kesejahteraan hewan, karena melibatkan paksaan, pengekangan, dan kondisi hidup yang jauh dari habitat alami primata.

Dari perspektif hukum, penggunaan monyet dalam atraksi jalanan tidak sesuai dengan regulasi konservasi satwa liar di Indonesia. Sementara dari sudut pandang etika, mempertahankan hiburan yang berbasis penderitaan hewan semakin sulit diterima di tengah meningkatnya kesadaran publik akan hak dan kesejahteraan satwa.

Penyelesaian masalah atraksi monyet membutuhkan pendekatan multidimensional. Regulasi perlu ditegakkan dengan konsisten, diiringi edukasi masyarakat agar memahami dampak eksploitasi satwa liar. Selain itu, pemberdayaan ekonomi bagi mantan pelatih monyet penting dilakukan sebagai alternatif mata pencaharian yang lebih manusiawi. Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan praktik atraksi monyet dapat ditinggalkan, dan hubungan manusia dengan satwa berkembang menuju arah yang lebih beretika, berkelanjutan, dan selaras dengan nilai-nilai konservasi.

 

 

 

 

 

 

 

 

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler